8.03.2011

Bahayanya Ahli Bid'ah

Bahayanya Ahli Bid'ah
Penulis: Musthafa Mahmud Adam Al Buthani
Manhaj, 23 - September - 2003, 10:27:10

Di antara fitnah yang sangat berbahaya terhadap dakwah salafiyah adalah seruan pada persatuan antara Ahli Sunnah dengan ahli bid’ah dengan alasan bahwa mereka masih memiliki banyak kebaikan, masih memberikan banyak saham terhadap Islam, demi keadilan, dan alasan-alasan lain yang tidak dapat diterima oleh akal yang sehat lebih-lebih secara naql (nash atau dalil, ed.).

Namun aneh, mereka yang mempunyai pemahaman seperti ini berani menyalahkan ulama Ahli Sunnah ketika para ulama tersebut mengkritik ahli bid’ah sementara mereka sendiri memperalat para ulama Ahli Sunnah dalam hal tazkiyah (pemberian rekomendasi) terhadap ulama mereka.

Mungkin kita sempat tertarik dengan manhaj mereka ini karena kita menganggapnya baik. Akan tetapi kalau kita menelaah kitab para ulama Ahli Sunnah barulah kita mengetahui kebathilan manhaj mereka karena tidak ada seorang ulama pun dari para ulama Ahli Sunnah mempunyai pemahaman seperti itu. Bahkan mereka sangat keras terhadap kebid’ahan dan ahli bid’ah. Di antara pendapat-pendapat mereka tentang ahli bid’ah yaitu :

1. Abu Fadhl Al Hamadzani berkata : “Ahli bid’ah serta orang-orang yang memalsukan hadits lebih berbahaya daripada orang-orang kafir yang secara terang-terangan menentang Islam. Orang-orang kafir bermaksud menghancurkan Islam dari luar sedangkan ahli bid’ah bermaksud menghancurkan Islam dari dalam. Mereka seperti penduduk suatu kampung yang ingin menghancurkan keadaan kampung tersebut sedangkan kaum kuffar bagaikan musuh yang sedang menunggu di luar benteng sampai pintu benteng tersebut dibuka oleh ahli bid’ah. Sehingga ahli bid’ah lebih jelek akibatnya terhadap Islam dibanding orang yang menentang secara terang-terangan.” (Al Maudlu’at Ibnul Jauzi lihat kitab Naqdur Rijal halaman 128)

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya As Siyasah Asy Syar’iyyah halaman 123 mengatakan : “Sekelompok dari kalangan pengikut Imam Syafi’i, Ahmad, dan selainnya memperbolehkan membunuh orang yang berdakwah pada kebid’ahan yang menyelisihi Al Qur’an. Demikian pula pengikut Imam Malik, mereka mengatakan bahwa Imam Malik membolehkan membunuh Qadariyah bukan karena mereka murtad (keluar dari Islam) tetapi karena mereka menyebarkan kerusakan di muka bumi.” (Naqdur Rijal halaman 127)

3. Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata tentang tafsir ayat :

“Hari yang pada waktu itu putih wajah-wajah.”

Yaitu Ahli Sunnah Wal Jamaah dan ayat :

“Dan hitam wajah-wajah.”

Yaitu ahli furqah dan ahli bid’ah. Kita katakan kepada ahli bid’ah:

“Apakah kalian berani kembali pada kekafiran setelah kalian beriman?”

[ Lihat kitab Ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabi oleh Syaikh Ahmad Salam halaman 187 dan Tafsir Ibnu Katsir tafsir surat Ali Imran ayat 106 ]

4. Allah berfirman :

“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat Kami maka tinggalkanlah mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang dhalim itu sesudah teringat.” (Al An’am : 68)

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Thabari menyebutkan dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali radliyallahu 'anhu bahwasanya ia berkata :

“Janganlah kalian duduk dengan orang yang suka berdebat karena mereka itulah orang yang memperolok-olok ayat-ayat Allah.”

5. Fudhail bin ‘Iyadl berkata : “Barangsiapa mencintai ahli bid’ah niscaya Allah akan menggugurkan amalnya dan mengeluarkan cahaya Islam dari hatinya. Barangsiapa menikahkan anak perempuannya dengan ahli bid’ah maka dia telah memutuskan silaturahminya. Barangsiapa duduk dengan ahli bid’ah maka dia tidak akan diberi hikmah. Dan kalau Allah telah mengetahui bahwa seseorang telah memiliki rasa benci kepada ahli bid’ah maka saya berharap semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.”

6. Sebagian ahli bid’ah berkata kepada Abi ‘Imran An Nakha’i : “Dengarlah dariku satu kata!” Lalu Abu ‘Imran berpaling darinya seraya berkata : “Saya tidak mau mendengar sekalipun setengah kata.” (Lihat Al Jami’ li Ahkamil Qur’an oleh Imam Al Qurthubi jilid 7 halaman 11)

7. Yahya bin Abi Katsir berkata : “Jika engkau bertemu dengan ahli bid’ah di satu jalan maka carilah jalan lain.” (Asy Syari’ah Al Ajurri. Lihat pula kitab Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan halaman 298)

8. Pernah suatu ketika ada seorang laki-laki yang dilaporkan kepada Al Auza’i bahwa dia berkata : “Saya duduk bersama Ahli Sunnah dan suatu ketika juga saya duduk dengan ahli bid’ah.” Maka Al Auza’i berkata : “Orang ini ingin menyamakan antara yang haq dengan yang bathil.” (Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan halaman 300)

9. Sebagian ahli bid’ah datang kepada Ibnu Taimiyah dengan niat ingin memperindah dan menghiasi bid’ah mereka di hadapan beliau. Mereka berkata : “Ya Syaikh, betapa banyak orang yang bertaubat karena dakwah kami!” Ibnu Taimiyah berkata : “Mereka taubat dari perbuatan apa?” Kata mereka : “Mereka taubat dari mencuri, merampok, dan lain-lainnya.” Lalu Ibnu Taimiyah menjawab : “Keadaan mereka sebelum bertaubat (karena dakwah kalian, ed.) lebih baik daripada keadaan mereka sekarang, karena sesungguhnya mereka dahulu dalam keadaan fasiq dan meyakini keharaman apa yang mereka kerjakan sehingga mereka selalu mengharap rahmat dari Allah dan mereka ingin bertaubat. Adapun sekarang mereka menjadi sesat dan musyrik akibat dakwah kalian bahkan mereka keluar dari Islam dan mencintai apa yang dibenci Allah dan membenci apa yang disukai Allah … .” Kemudian Ibnu Taimiyah menjelaskan kepada mereka bahwa bid’ah yang mereka kerjakan lebih jelek daripada kemaksiatan lainnya. (Lihat pula kitab Ilmu Ushulil Bida’ halaman 220)

Demikianlah beberapa pendapat ulama Ahli Sunnah tentang hukum bershahabat dengan ahli bid’ah. Dari sini jelaslah bagi kita tentang kebathilan manhaj yang diistilahkan dengan manhaj al inshaf (sururiyah) terhadap ahli bid’ah karena kita lihat begitu keras sikap para ulama Ahli Sunnah terhadap ahli bid’ah. Demikian pula sikap mereka terhadap kitab-kitab ahli bid’ah sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa ahli bid’ah itu lebih berbahaya daripada orang-orang kafir yang jelas-jelas menentang Islam. Maka marilah kita menyelamatkan diri kita dari ‘kalajengking-kalajengking’ yang menyembunyikan kepala dan tangan mereka di dalam tanah dan mengeluarkan ekornya, kapan saja mereka mempunyai kesempatan maka mereka langsung menyengat[1] sedangkan kita tidak menyadarinya. Demikianlah perumpamaan ahli bid’ah yang sangat halus caranya untuk menipu umat kepada kebid’ahannya. Tidak ada jalan bagi kita untuk menelaah buku-buku mereka sekarang karena masih tipis ilmu yang kita miliki dan begitu halus politik dan tipu daya mereka.

Kita baru mengetahui politik-politik ahli bid’ah tersebut kalau kita sudah menelaah kitab-kitab mereka yang telah dibantah oleh para ulama Ahli Sunnah.

Contoh Pertama : Seperti seorang sufi yang bernama Hasan Al Banna ketika memberikan muhadlarah (kuliah) di Mesir, dia mengatakan : [ Di sini saya tegaskan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukanlah karena agama karena Al Qur’an telah menganjurkan kepada kita untuk berkasih sayang dan berteman dengan mereka. Al Qur’an juga telah membuat kesepakatan antara kita dengan mereka. Sebagaimana firman Allah :

“Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang terbaik … .” (Al Ankabut : 46)

Juga ketika Al Qur’an menyinggung Yahudi selalu dalam rangka penetapan hukum sebagaimana firman Allah :

“Maka disebabkan kedhaliman orang-orang yahudi Kami haramkan atas mereka (memakan makanan yang baik-baik) yang dahulu dihalalkan bagi mereka … .” (An Nisa’ : 160) ]

Lihat betapa bahaya perkataan semacam ini. Kita harus memahami bahwa jika yang dimaksud oleh Hasan Al Banna di atas ialah permusuhan antara kelompoknya (Ikhwanul Muslimin (IM), ed.) dengan orang yahudi maka benar perkataan di atas (permusuhan IM dengan orang yahudi bukan karena agama, ed.). Akan tetapi jika yang ia maksud ialah seluruh kaum Muslimin, maka hal ini menunjukkan kesesatan yang jelas. Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya engkau dapati orang yang paling keras permusuhannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik.” (Al Maidah : 82)

“Orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al Baqarah : 120)

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa permusuhan antara kita dengan orang yahudi ialah karena agama. Di samping itu juga perlu kita ketahui bahwa orang yahudi adalah kufar sekalipun Hasan Al Banna tidak mengakuinya. (Lihat Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam halaman 153-154)

Contoh Kedua : Seorang mu’tazili yang bernama Yusuf Qardlawi. Kita lihat keberaniannya menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam hanya karena tidak cocok dengan perasaan dan pemikirannya seperti dia menolak hadits :

“Orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan yang dikubur hidup-hidup tempatnya di neraka.” (HR. Imam Ahmad dari Abi Salamah dan haditsnya shahih. Lihat Kaifa Nata’malu Ma’as Sunnah halaman 96. Lihat pula Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam halaman 186-187[2])

Karena tidak cocok dengan perasaannya dia mengatakan : “Ketika saya membaca hadits ini maka dada saya merasa sempit/goncang, kemudian saya mengatakan : ‘Mungkin hadits ini lemah’.”

Hadits lain yang diingkarinya yaitu riwayat Bukhari Muslim :

Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Jika penduduk Surga telah menempati Surga dan penduduk neraka telah menempati neraka maka maut pun didatangkan di antara Surga dan neraka kemudian disembelih. Kemudian tukang panggil mengumumkan : ‘Wahai penduduk Surga sesungguhnya tidak ada lagi kematian. Wahai penduduk neraka sesungguhnya tidak ada lagi kematian’. Sehingga penghuni Surga pun bertambah senang dan penghuni neraka pun bertambah sedih.” (HR. Bukhari Muslim)

Qardlawi mengomentari : “Bagaimana mungkin maut disembelih? Apakah mungkin maut mati?” Kemudian dia mengatakan : “Pantas saja Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan demikian kepada para shahabatnya yang memang akal mereka kemampuannya rendah. Sedangkan sekarang, khurafat semacam ini tidak pantas lagi diceritakan karena tidak dapat diterima oleh akal orang sekarang (moderen).” (Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam halaman 196)

Masih banyak lagi perkataan Yusuf Qardlawi yang sangat menyimpang dari kebenaran, seperti terjadinya ikhtilat di madrasah-madrasah Qathr dan lain-lainnya yang juga akibat dari fatwanya. (Lihat Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam)

Contoh Ketiga : Yaitu seorang rafidli (syiah ekstrim) yang mutasattir (berpura-pura) dengan sunnah yang bernama Abul A’la Al Maududi yang tidak hanya mencerca shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahkan para Nabi dan Rasul pun dicercanya sebagaimana dalam kitabnya Al Khilafah wal Mulk. Di antaranya dia menyatakan dalam kitabnya Qur’an Kaifa Jara Baina Yadai Istilahain halaman 156 : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam agar meminta ampun karena kekurangannya dalam menyampaikan risalah Nubuwah[3].”

Dia juga menjelek-jelekkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah, dan ‘Aisyah radliyallahu 'anhuma ajma’in (sebagaimana dalam kitabnya Al Khilafah wal Mulk). Untuk lebih lengkapnya lihat kitab Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam oleh Farid bin Ahmad bin Manshur Alul Bait halaman 84.

Setelah kita melihat perkataan-perkataan di atas timbul pertanyaan di benak kita : “Senangkah kita jika agama dan Nabi kita dihina seperti ini?” Tentu kita tidak senang, bahkan kita harus membelanya dari pelecehan-pelecehan seperti itu. Sekarang timbul pertanyaan lagi setelah itu : “Maukah kita diajak bekerjasama atau menutup mata dari pelecehan semacam itu dengan alasan ‘ala kulli hal (secara umum, ed.) mereka juga masih banyak kebaikan terhadap Islam? Atau dengan alasan karena mereka juga mujtahid? Atau dengan alasan inshaf dan adil?” Tentu akal sehat akan menjawab sebagai berikut :

1. “ … sesungguhnya mereka itulah musuh! Maka waspadalah terhadap mereka.” (Al Munafiqun : 4)

2. “ … maka siapakah yang lebih dhalim daripada orang-orang yang membuat kedustaan atas Allah untuk menyesatkan manusia tanpa ilmu? … .” (Al An’am : 144)

3. “Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka tidak mengatakan sesuatu kecuali dusta.” (Al Kahfi : 5)

Atau paling tidak kita menjawab dengan jawaban yang pernah dilontarkan para ulama Ahli Sunah Wal Jamaah seperti :

1. Ucapan Asy Syathibi : “Ahlul bid’ah ialah musuh dan penghancur syariat.” (Al I’tisham jilid 1 halaman 65 tahqiq Salim Al Hilali)

2. Ucapan Umar bin Khaththab radliyallahu 'anhu : “Hati-hatilah kalian dari ashhabir ra’yi (kaum yang menilai kebenaran dengan akalnya) karena sesungguhnya mereka itu adalah musuh-musuh sunnah. Mereka merasa sulit untuk menghapal hadits sehingga mereka berkata dengan akalnya dan akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (Sunan Ad Daruquthni, Al Washaya 4/146, Jami’ Bayanil Ilmi 2/123, dan Al Lalika’i 1/123. Lihat kitab Muqaddimat fil Ahwa’ wal Bida’ oleh Nasir bin Abdul Karim Al ‘Aql halaman 61)

3. Ucapan Said bin Jubair radliyallahu 'anhu : “Kalau seandainya anakku berteman dengan perampok yang sunni maka lebih aku sukai daripada dia berteman dengan ahli ibadah yang mubtadi’ (ahli bid’ah).” (Lihat kitab Ilmu Ushulil Bida’ halaman 218)

4. Perkataan Ibnu Taimiyah : “Sesunguhnya ahli bid’ah itu lebih jelek daripada ahli maksiat yang berupa syahwat. Karena dosa ahli maksiat karena mengerjakan larangan seperti mencuri, zina, minum khamr, atau memakan harta secara bathil. Sedangkan dosa ahli bid’ah yaitu karena meninggalkan perintah untuk mengikuti sunah dan ijma’ kaum Mukminin.” (Ilmu Ushulil Bida’ halaman 219)

Inilah jawaban yang seharusnya kita ucapkan terhadap orang yang mengajak kita untuk berbasa-basi terhadap ahli bid’ah. (Lihat Dakwah Ikhwanul Muslimin halaman 68)

Demikianlah beberapa bahaya ahli bid’ah yang telah menjalar ke dalam tubuh umat ini serta beberapa sikap tegas para ulama dalam rangka menutup pintu bagi bahaya tersebut. Bimbingan para ulama adalah cahaya bagi kita semua. Semoga Allah senantiasa memelihara umat ini dari rongrongan bid’ah dan ahli bid’ah. Amin.

Wallahu A’lam Bis Shawab.

Maraji’ :

1. Al Jami’ li Ahkamil Qur’an. Imam Al Qurthubi.

2. Al I’tisham. Imam Asy Syathibi.

3. Ilmu Ushulil Bida’. Syaikh Ali Hasan.

4. Manhaj Ahli Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif. Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali.

5. Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam. Farid bin Ahmad bin Manshur Alul Bait.

6. Muqaddimah fil Ahwa’ wal Bida’. DR. Nashir bin Abdil Karim Al ‘Aql.

7. Ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabi. Syaikh Ahmad Salam.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Perumpamaan ini ialah perumpamaan bagi ahli bid’ah. Mereka seperti kalajengking maksudnya mereka bergaul dengan orang banyak dengan mencari kesempatan kapan saja untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan (kebid’ahannya, ed.). (Lihat Ilmu Ushulil Bida’ halaman 291)

[2] Kalaupun seandainya hadits ini dlaif, penilaian Yusuf Qardlawi seperti itu tetap tidak dapat diterima karena para ulama menilai hadits dengan ilmu Musthalahul Hadits, bukan dengan perasaan (seperti caranya Qardlawi, ed.). Maksud hadits tersebut sebenarnya berlaku khusus bagi Mulaikah dan orang yang dikuburnya hidup-hidup sebagaimana pada lafadh seterusnya dalam hadits di atas.

[3] Padahal maksudnya ialah : “Mintalah ampun kepada Allah dengan senantiasa berdzikir kepada-Nya.” (Lihat Al Jami’ li Ahkamil Qur’an jilid 20 oleh Al Qurthubi)

(Oleh Ustadz Musthafa Mahmud Adam Al Buthani, sekarang belajar di Yaman, red. [Dinukil dari majalah SALAFY XXIV/1418/1998/NASEHATI])

Tidak ada komentar:

Posting Komentar