Oleh: Bambang Marhiyanto
Al-Malik mengandung makna raja atau penguasa. Namun sifat ini tidak boleh disamakan dengan raja-raja atau penguasa di dunia. Memang Allah menyebut dirinya sebagai al-Malik (raja/penguasa). Kedudukan raja bagi Allah dimaknai sebagai Dzat yang berkuasa dan tidak butuh kepada segala sesuatu. Dia memiliki segala sesuatu. Apa yang dimilikiNya diciptakanNya sendiri, bersumber dariNya. Segala sesuatu menjadi milikNya. Dia berhak melakukan apa saja terhadap milikNya.
Berbeda dengan raja-raja di muka bumi. Mereka memang berkuasa, tetapi butuh kepada rakyatnya. Tidak ada rakyat, ia tidak bisa berkuasa. Terhadap sesuatu mereka berusaha memiliki dengan jerih payah. Mereka tidak bisa menciptakannya sendiri. Lagi pula kekuasaannya sangat terbatas. Oleh sebab itu Allah disebut sebagai Maha Raja yang menguasai raja-raja.
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Robbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” QS. Thaha 114.
Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya tidak ada Illah (yang berhak disembah) selain Dia, Robb (Yang mempunyai) Arsy Yang Mulia. QS. al-Mukminun 116.
Ada yang berpendapat bahwa al-Malik mengandung makna Yang memiliki segala-galanya, tidak membutuhkan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Bahkan wujud segala sesuatu bersumber dariNya atau dari sesuatu yang dariNya. Maka segala sesuatu selainNya menjadi milikNya dalam zat dan sifatnya dan membutuhkanNya. Itulah Raja yang mutlak.
Allah al-Malik berarti Maha Raja. Berarti pula memiliki kerajaan yang Dia buat sendiri. Kerajaan yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang tiada terbatas. Bahkan Dia memberikan kerajaan-kerajaan kepada orang yang Dia kehendaki. Kemudian Dia juga mencabut kerajaan-kerajaan dari tangan orang yang dikehendakiNya.
Kerajaan artinya kekuasaan. Maha Raja berarti Maha Menguasai atau Maha Kuasa. Oleh sebab itu jika kita memiliki kedudukan dan kekuasaan, sebesar apa pun bentuk kekuasaan itu hendaknya diingat bahwa kita berada dalam genggaman Allah. Seorang pemimpin organisasi dianggap memiliki kekuasaan kepada anggotanya, seorang manajer merupakan penguasa atas bawahannya, seorang direktur, kepala sekolah, bahkan kepala rumah tangga, mereka adalah penguasa atas kelompoknya. Janganlah kiranya kita berbuat dzalim, ingatlah bahwa kerajaan (kekuasaan) Allah lebih hebat dan mampu mencabut kekuasaan kita.
Mengamalkan al-Malik Untuk Meraih Keberuntungan
Ada yang berpendapat, berdzikir dengan asma al-Malik secara terarur dan istiqamah, niscaya engkau akan dianugerahi oleh Allah kekayaan yang berlimpah, kekuasaan dan dihormati orang lain di tengah-tengah masyarakat.
Pendapat ini tidak jelas sumbernya, namun jika dicermati mengandung pesan yang tersembunyi dan perlu penjabaran. Barangkali berdzikir yang dimaksudkan bukan sekedar untuk mengucapkan kata al-Malik. Namun lebih dari itu, kita perlu menghayati, memahami dan menerapkan dalam sikap dan perilaku. Jika demikian, maka kita akan dapat merasakan perubahan pada diri sendiri dan pada kehidupan kita secara luar biasa.
Pertama sekali kita harus beriman bahwa Allah memiliki nama indah, yaitu al-Malik. Dia Maha Kuasa atas segala-galanya. Dia Maha raja atas raja-raja. Dia memiliki segala yang ada. Karena Allah adalah Maha Raja, siapa pun raja di dunia ini adalah hambaNya, tak terkecuali kita. Artinya, dalam segala hal dan kebutuhan, kita bergantung kepadaNya. Bukan bergantung kepada selainNya.
Setelah itu kita bangkitkan kesadaran dari dalam diri kita dengan sesadar-sadarnya bahwa kita tidaklah mampu melakukan apa pun kecuali kekuasaan dan kehendak Allah swt.
Jika kita telah mengaku sebagai orang beriman, maka hendaknya mampu memaknai sifat al-Malik asma Allah ini. Artinya kita haruslah menyadari bahwa kekuasaan dan kedudukan duniawi hanyalah sebuah permainan di dalam sandiwara. Ia bersifat sementara. Kekuasaan hakiki semata milik Allah. Jika manusia tergila-gila dengan kedudukan dan jabatan, apalagi untuk mencapainya dengan cara yang tidak terpuji, maka orang semacam ini benar-benar tertipu.
Manusia memang dibekali Allah sifat fitrah ‘malik’ ini, yaitu cenderung menguasai. Sifat fitrah tersebut berupa keinginan yang senantiasa baik dan terpuji. Sebuah keinginan yang dapat menguntungkan diri sendiri tetapi tidak merugikan orang lain. Namun sejalan dengan berkembangnya usia, sifat fitrah itu perlahan-lahan dikalahkan oleh hawa nafsu. Sehingga keinginan yang mendorong semangat sering karena hawa nafsu.
Agar sifat malik (raja/menguasai) itu tetap sejalan dengan fitrah dan bermanfaat bagi kita, maka al-Malik haruslah diwujudkan dalam amalan; sikap dan perilaku. Pertama sekali, kita harus menjadi penguasa yang tegas dan bijaksana terhadap diri dan nafsu kita sendiri.
Menguasai diri menjadi begitu penting. Menguasai diri sama dengan mengendalikan hawa nafsu. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Orang gagah itu bukanlah karena kekuatan fisiknya. Orang gagah adalah yang mampu menguasai dirinya saat ia marah.” HR. Bukhari.
Marah merupakan keadaan yang timbul atas dorongan hawa nafsu.
Sedangkan menguasai diri adalah sebuah kesadaran yang mulia dan terpuji. Ia merupakan pancaran dari al-Malik tersebut.
Dalam keseharian, jika kita mampu menguasai diri (menjadi raja untuk diri sendiri), insya Allah akan selamat. Perhatikanlah orang-orang bijak dan berhasil dalam kariernya, mereka selalu dapat menguasai diri ketika sedang mengambil keputusan, ketika sedang berhadapan dengan orang lain dan sebagainya.
Seorang penjual, ia tidak akan sukses menjual barangnya jika ia tidak mampu menguasai diri ketika berhadapan dengan calon pembeli. Pada umumnya calon pembeli akan bersikap defensif (menutup diri) . Mereka suka menjatuhkan kwalitas barang yang ditawarkan kepadanya dengan harapan mendapatkan harga murah. Posisi penjual di sini adalah melayani dengan sabar. Ia harus bisa menghadapi sikap pembeli. Jika penjual dapat menguasai diri dan mampu menahan emosinya, ia justru akan dapat menguasai diri calon pembeli. Ia akhirnya sukses menjual barang.
Mulai hari ini cobalah untuk belajar menguasai diri dan mengalahkan hawa nafsu. Hidup akan terasa nyaman, indah dan tanpa beban jika seseorang mampu menguasai dirinya dari dorongan hawa nafsu.
Seorang penguasa jika tidak dapat menguasai dirinya, justru kekuasaannya akan jatuh. Seorang pimpinan jika tidak dapat menguasai diri dalam menyikapi permasalahan terhadap anak buahnya, maka kebijaksanaannya tidak akan dapat diwujudkan karena tidak mendapat dukungan. Orang kaya yang terlena dengan kekayaannya dan memanjakan diri dalam bermewah-mewahan, berarti tidak dapat menguasai diri. Ia dikendalikan oleh hawa nafsunya. Hartanya digunakan untuk memenuhi kesenangan. Padahal kesenangan duniawi itu bersifat sementara. Jika menuruti hawa nafsu dan tidak dapat menguasai diri, tentunya akan dipermainan dengan kesenangan duniawi. Padahal kesenangan duniawi itu tiada batas. Satu tercapai, muncul keinginan baru. Begitu seterusnya.
Jika orang kaya mampu mengendalikan diri (menjadi raja untuk dirinya sendiri) tentu bisa menyederhanakan keinginan. Ia manfaatkan hartanya dengan disertai rasa syukur. Ia hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai insan yang bermanfaat. Suka menolong, bersedekah dan menginfaqkan sebagian kekayaannya untuk kepentingan terpuji.
Agar dapat menguasai diri, hendaknya kita banyak-banyak bersyukur pada setiap keadaan. Ingatlah hanya Allah Yang Berkuasa memberi rejeki dan kenikmatan. Jangan terlena dengan harta kekayaan dan kemampuan yang kita miliki. Tanpa kehendakNya, kita tidak berarti apa-apa.
Kita telah menyatakan beriman (yakin) terhadap Allah dan asmaNya yang indah (99 asmaul husna) maka kita harus bertakwa. Di dalam takwa terdapat sabar dan syukur. Syukur merupakan perwujudan pengakuan bahwa Allah jua yang memberi rejeki dan kenikmatan. Untuk bisa bersyukur, perlu kita mengendalikan diri.
Sekali lagi, jadilah penguasa atas diri sendiri dan hawa nafsu. Jangan sampai dikuasai hawa nafsu. Bentuk-bentuk perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu itu misalnya sombong, pamer, mencuri, menipu, korupsi, berzina, menghasud, membenci, curang dalam menjual, licik dan sebagainya.
Jika kita beriman dan meyakini Allah sebagai Raja dan Maha Penguasa atas segala sesuatu, maka sesungguhnya di dunia ini tiada yang ditakuti kecuali Allah.
Oleh karena itu jangan takut kecuali kepada Allah. Sandarkan harapan kepadaNya. Jika Allah berhekendak, maka segala sesuatu akan dapat terwujudkan. Namun jangan lupa kita harus berikhtiar dan bekerja keras dengan disertai harapan baik kepadaNya.
Jadilah orang beriman yang percaya diri. Jangan takut tampil didepan. Di dunia ini tidak perlu ada yang ditakuti. Jika kita tampil di depan, maka akan terlebih dahulu meraih sukses. Jangan takut gagal dalam berikhtiar. Lakukanlah dengan disertai hati-hati dalam mengambil keputusan. Selama kita tidak diperbudak nafsu dan emosi, keputusan kita akan menghasilkan sesuatu yang baik.
Orang mukmin tidak takut membela kebenaran. Tegakkanlah kebenaran dengan cara yang baik dan simpati di hadapan mereka. Sikap ini merupakan pengembangan diri sehingga kita akan dihargai dan menjadi mulia di mata mereka.
Jika kita telah sepakat untuk dapat menguasai diri, maka buanglah rasa malas. Jangan mau dikuasai oleh rasa malas, sebab kebiasaan itu tidak akan mendukung keberhasilan hidup. Rasa malas justru mempercepat kita menuju jurang kemiskinan. Hendaknya kita bekerja keras dengan disertai sifat sabar, tawakal dan berharap kepada Allah.
Inilah bentuk pengamalan asma Allah “al-Malik” secara nyata. Inti dari pesan ini adalah menjadi penguasa atas diri sendiri agar jangan sampai dikuasai oleh hawa nafsu dan sifat-sifat burung yang merugikan
Al-Malik mengandung makna raja atau penguasa. Namun sifat ini tidak boleh disamakan dengan raja-raja atau penguasa di dunia. Memang Allah menyebut dirinya sebagai al-Malik (raja/penguasa). Kedudukan raja bagi Allah dimaknai sebagai Dzat yang berkuasa dan tidak butuh kepada segala sesuatu. Dia memiliki segala sesuatu. Apa yang dimilikiNya diciptakanNya sendiri, bersumber dariNya. Segala sesuatu menjadi milikNya. Dia berhak melakukan apa saja terhadap milikNya.
Berbeda dengan raja-raja di muka bumi. Mereka memang berkuasa, tetapi butuh kepada rakyatnya. Tidak ada rakyat, ia tidak bisa berkuasa. Terhadap sesuatu mereka berusaha memiliki dengan jerih payah. Mereka tidak bisa menciptakannya sendiri. Lagi pula kekuasaannya sangat terbatas. Oleh sebab itu Allah disebut sebagai Maha Raja yang menguasai raja-raja.
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Robbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” QS. Thaha 114.
Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya tidak ada Illah (yang berhak disembah) selain Dia, Robb (Yang mempunyai) Arsy Yang Mulia. QS. al-Mukminun 116.
Ada yang berpendapat bahwa al-Malik mengandung makna Yang memiliki segala-galanya, tidak membutuhkan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Bahkan wujud segala sesuatu bersumber dariNya atau dari sesuatu yang dariNya. Maka segala sesuatu selainNya menjadi milikNya dalam zat dan sifatnya dan membutuhkanNya. Itulah Raja yang mutlak.
Allah al-Malik berarti Maha Raja. Berarti pula memiliki kerajaan yang Dia buat sendiri. Kerajaan yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang tiada terbatas. Bahkan Dia memberikan kerajaan-kerajaan kepada orang yang Dia kehendaki. Kemudian Dia juga mencabut kerajaan-kerajaan dari tangan orang yang dikehendakiNya.
Kerajaan artinya kekuasaan. Maha Raja berarti Maha Menguasai atau Maha Kuasa. Oleh sebab itu jika kita memiliki kedudukan dan kekuasaan, sebesar apa pun bentuk kekuasaan itu hendaknya diingat bahwa kita berada dalam genggaman Allah. Seorang pemimpin organisasi dianggap memiliki kekuasaan kepada anggotanya, seorang manajer merupakan penguasa atas bawahannya, seorang direktur, kepala sekolah, bahkan kepala rumah tangga, mereka adalah penguasa atas kelompoknya. Janganlah kiranya kita berbuat dzalim, ingatlah bahwa kerajaan (kekuasaan) Allah lebih hebat dan mampu mencabut kekuasaan kita.
Mengamalkan al-Malik Untuk Meraih Keberuntungan
Ada yang berpendapat, berdzikir dengan asma al-Malik secara terarur dan istiqamah, niscaya engkau akan dianugerahi oleh Allah kekayaan yang berlimpah, kekuasaan dan dihormati orang lain di tengah-tengah masyarakat.
Pendapat ini tidak jelas sumbernya, namun jika dicermati mengandung pesan yang tersembunyi dan perlu penjabaran. Barangkali berdzikir yang dimaksudkan bukan sekedar untuk mengucapkan kata al-Malik. Namun lebih dari itu, kita perlu menghayati, memahami dan menerapkan dalam sikap dan perilaku. Jika demikian, maka kita akan dapat merasakan perubahan pada diri sendiri dan pada kehidupan kita secara luar biasa.
Pertama sekali kita harus beriman bahwa Allah memiliki nama indah, yaitu al-Malik. Dia Maha Kuasa atas segala-galanya. Dia Maha raja atas raja-raja. Dia memiliki segala yang ada. Karena Allah adalah Maha Raja, siapa pun raja di dunia ini adalah hambaNya, tak terkecuali kita. Artinya, dalam segala hal dan kebutuhan, kita bergantung kepadaNya. Bukan bergantung kepada selainNya.
Setelah itu kita bangkitkan kesadaran dari dalam diri kita dengan sesadar-sadarnya bahwa kita tidaklah mampu melakukan apa pun kecuali kekuasaan dan kehendak Allah swt.
Jika kita telah mengaku sebagai orang beriman, maka hendaknya mampu memaknai sifat al-Malik asma Allah ini. Artinya kita haruslah menyadari bahwa kekuasaan dan kedudukan duniawi hanyalah sebuah permainan di dalam sandiwara. Ia bersifat sementara. Kekuasaan hakiki semata milik Allah. Jika manusia tergila-gila dengan kedudukan dan jabatan, apalagi untuk mencapainya dengan cara yang tidak terpuji, maka orang semacam ini benar-benar tertipu.
Manusia memang dibekali Allah sifat fitrah ‘malik’ ini, yaitu cenderung menguasai. Sifat fitrah tersebut berupa keinginan yang senantiasa baik dan terpuji. Sebuah keinginan yang dapat menguntungkan diri sendiri tetapi tidak merugikan orang lain. Namun sejalan dengan berkembangnya usia, sifat fitrah itu perlahan-lahan dikalahkan oleh hawa nafsu. Sehingga keinginan yang mendorong semangat sering karena hawa nafsu.
Agar sifat malik (raja/menguasai) itu tetap sejalan dengan fitrah dan bermanfaat bagi kita, maka al-Malik haruslah diwujudkan dalam amalan; sikap dan perilaku. Pertama sekali, kita harus menjadi penguasa yang tegas dan bijaksana terhadap diri dan nafsu kita sendiri.
Menguasai diri menjadi begitu penting. Menguasai diri sama dengan mengendalikan hawa nafsu. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Orang gagah itu bukanlah karena kekuatan fisiknya. Orang gagah adalah yang mampu menguasai dirinya saat ia marah.” HR. Bukhari.
Marah merupakan keadaan yang timbul atas dorongan hawa nafsu.
Sedangkan menguasai diri adalah sebuah kesadaran yang mulia dan terpuji. Ia merupakan pancaran dari al-Malik tersebut.
Dalam keseharian, jika kita mampu menguasai diri (menjadi raja untuk diri sendiri), insya Allah akan selamat. Perhatikanlah orang-orang bijak dan berhasil dalam kariernya, mereka selalu dapat menguasai diri ketika sedang mengambil keputusan, ketika sedang berhadapan dengan orang lain dan sebagainya.
Seorang penjual, ia tidak akan sukses menjual barangnya jika ia tidak mampu menguasai diri ketika berhadapan dengan calon pembeli. Pada umumnya calon pembeli akan bersikap defensif (menutup diri) . Mereka suka menjatuhkan kwalitas barang yang ditawarkan kepadanya dengan harapan mendapatkan harga murah. Posisi penjual di sini adalah melayani dengan sabar. Ia harus bisa menghadapi sikap pembeli. Jika penjual dapat menguasai diri dan mampu menahan emosinya, ia justru akan dapat menguasai diri calon pembeli. Ia akhirnya sukses menjual barang.
Mulai hari ini cobalah untuk belajar menguasai diri dan mengalahkan hawa nafsu. Hidup akan terasa nyaman, indah dan tanpa beban jika seseorang mampu menguasai dirinya dari dorongan hawa nafsu.
Seorang penguasa jika tidak dapat menguasai dirinya, justru kekuasaannya akan jatuh. Seorang pimpinan jika tidak dapat menguasai diri dalam menyikapi permasalahan terhadap anak buahnya, maka kebijaksanaannya tidak akan dapat diwujudkan karena tidak mendapat dukungan. Orang kaya yang terlena dengan kekayaannya dan memanjakan diri dalam bermewah-mewahan, berarti tidak dapat menguasai diri. Ia dikendalikan oleh hawa nafsunya. Hartanya digunakan untuk memenuhi kesenangan. Padahal kesenangan duniawi itu bersifat sementara. Jika menuruti hawa nafsu dan tidak dapat menguasai diri, tentunya akan dipermainan dengan kesenangan duniawi. Padahal kesenangan duniawi itu tiada batas. Satu tercapai, muncul keinginan baru. Begitu seterusnya.
Jika orang kaya mampu mengendalikan diri (menjadi raja untuk dirinya sendiri) tentu bisa menyederhanakan keinginan. Ia manfaatkan hartanya dengan disertai rasa syukur. Ia hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai insan yang bermanfaat. Suka menolong, bersedekah dan menginfaqkan sebagian kekayaannya untuk kepentingan terpuji.
Agar dapat menguasai diri, hendaknya kita banyak-banyak bersyukur pada setiap keadaan. Ingatlah hanya Allah Yang Berkuasa memberi rejeki dan kenikmatan. Jangan terlena dengan harta kekayaan dan kemampuan yang kita miliki. Tanpa kehendakNya, kita tidak berarti apa-apa.
Kita telah menyatakan beriman (yakin) terhadap Allah dan asmaNya yang indah (99 asmaul husna) maka kita harus bertakwa. Di dalam takwa terdapat sabar dan syukur. Syukur merupakan perwujudan pengakuan bahwa Allah jua yang memberi rejeki dan kenikmatan. Untuk bisa bersyukur, perlu kita mengendalikan diri.
Sekali lagi, jadilah penguasa atas diri sendiri dan hawa nafsu. Jangan sampai dikuasai hawa nafsu. Bentuk-bentuk perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu itu misalnya sombong, pamer, mencuri, menipu, korupsi, berzina, menghasud, membenci, curang dalam menjual, licik dan sebagainya.
Jika kita beriman dan meyakini Allah sebagai Raja dan Maha Penguasa atas segala sesuatu, maka sesungguhnya di dunia ini tiada yang ditakuti kecuali Allah.
Oleh karena itu jangan takut kecuali kepada Allah. Sandarkan harapan kepadaNya. Jika Allah berhekendak, maka segala sesuatu akan dapat terwujudkan. Namun jangan lupa kita harus berikhtiar dan bekerja keras dengan disertai harapan baik kepadaNya.
Jadilah orang beriman yang percaya diri. Jangan takut tampil didepan. Di dunia ini tidak perlu ada yang ditakuti. Jika kita tampil di depan, maka akan terlebih dahulu meraih sukses. Jangan takut gagal dalam berikhtiar. Lakukanlah dengan disertai hati-hati dalam mengambil keputusan. Selama kita tidak diperbudak nafsu dan emosi, keputusan kita akan menghasilkan sesuatu yang baik.
Orang mukmin tidak takut membela kebenaran. Tegakkanlah kebenaran dengan cara yang baik dan simpati di hadapan mereka. Sikap ini merupakan pengembangan diri sehingga kita akan dihargai dan menjadi mulia di mata mereka.
Jika kita telah sepakat untuk dapat menguasai diri, maka buanglah rasa malas. Jangan mau dikuasai oleh rasa malas, sebab kebiasaan itu tidak akan mendukung keberhasilan hidup. Rasa malas justru mempercepat kita menuju jurang kemiskinan. Hendaknya kita bekerja keras dengan disertai sifat sabar, tawakal dan berharap kepada Allah.
Inilah bentuk pengamalan asma Allah “al-Malik” secara nyata. Inti dari pesan ini adalah menjadi penguasa atas diri sendiri agar jangan sampai dikuasai oleh hawa nafsu dan sifat-sifat burung yang merugikan
Sebuah penguraian masalah yang begitu baik untuk kita renungkan, semoga dengan pencerahan ini membawa kita ke perilaku yang lebih baik, amin.
BalasHapus