Produktivitas berarti kemampuan untuk menghasilkan sesuatu
[1]. Islam sebagai pedoman hidup yang turun dari Sang Pencipta manusia, sangat menghargai bahkan amat mendorong produktivitas. Rosulullah saw. Bersabda:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤمِنَ الْمُحْتَـرِفَ
Dari Ibnu ‘Umar ra dari Nabi saw, ia berkata: “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang beriman yang berkarya (produktif menghasilkan berbagai kebaikan -pen)” H.R. Thabrani dalam Al Kabir, juga oleh Al Bayhaqi
عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ أمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ أمْسَى مَـغْـفُوْرًا لَـهُ
Dan dai ‘Aisyah ra. Beliau berkata, telah berkarta Rosulullah saw “Barangsiapa yang disenjaharinya merasa letih karena bekerja (mencari nafkah) maka pada senja hari itu dia berada dalam ampunan Allah” H.R. At Thabrani dalam kitab Al Ausath.
Islam membenci pengangguran, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat Nabi saw, Ibnu Masud ra:
وعن ابن مسعود قال إني لأَكْرَهُ أنْ أرَى الرَّجُلَ فَارِغًا لاَ في عَمَلِ دُنْـيَا وَلاَ آخِرَةٍ
Sesungguhnya aku benci kepada seseorang yang menganggur, tidak bekerja untuk kepentingan dunia juga tidak untuk keuntungan akhirat. H.R. At Thabrani dalam kitab Al Kabir.
Bahkan Rosulullah menghargai seorang hamba yang sanggup mandiri, hidup dengan hasil kemampuannya sendiri:
حدثنا إبراهيم بن موسى أخبرنا عيسى عن ثور عن خالد بن معدان عن المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم ما أكل أحد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده وإن نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده
Makanan yang terbaik yang dimakan seseorang adalah dari hasil karya tangannya sendiri dan sesungguhnya Nabi Dawud AS. Pun makan dari hasil kerjanya sendiri. (H.R. Bukhory : 1966)
Dalam keterangan lain, beliau menyebutkan bahwa sebaik baik usaha adalah apa yang merupakan ekspresi dari keterampilan dirinya, dan segenap tanggung jawab ekonomi yang dia berikan kepada ahli keluarganya, dinilai sebagai sedekah yang terus menerus menghasilkan pahala:
حدثنا هشام بن عمار ثنا إسماعيل بن عياش عن بجير بن سعد عن خالد بن معدان عن المقدام بن معد يكرب الزبيدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أطْيَبُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا أنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ
Pekerjaan terbaik seseorang adalah apa yang dikerjakan berdasarkan keterampilannya, dan apapun yang dinafkahkan seseorang untuk dirinyaوkeluarganya, anaknya dan pembantunya adalah sedekah. H.R. Ibnu Majah.
إنَّ اللهَ يُحِبُّ المُـؤمِنَ الْمُحْتَرِفَ الضَّعِيْفَ الْمُتَعَفِفَ وَيَـبْـغَضُ السَّائِلَ الْمُلْحِفَ
Sesungguhnya Allah mencintai seorang beriman yang sekalipun lemah, tetapi ia produktif dan selalu menjaga harga dirinya (tidak mau meminta-minta) dan Allah membenci tukang peminta-minta yang pemaksa. Di dalam Tafsir Al Qurthubi Juz 11 hal 321.
Produktivitas itu tetap harus dipertahankan dalam segala situasi dan kondisi, dengan sebuah penggambaran yang ekstrim, bahkan sekalipun anda tahu besok akan kiamat, tidak boleh membuat kita tidak berkarya dan produktif hari ini. Sebagaimana sabda Rosulullah saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنْ قَامَتِ السَّاعَةِ وَفي يَدِ أحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَلْيَغْرِسْهَا
Andaipun besok kiamat, sedang di tangan salah seorang di antara kamu ada tunas pohon kurma, maka tanamlah ia ! H.R. Al Bazaar, rijalnya tsiqot.
Demikian besarnya penghargaan Islam atas produktivitas, sampai –sampai disebutkan dalam Al Hadits, bahwa produktivitas juga erat kaitannya dengan jalan untuk memperoleh pengampunan dari dosa-dosa, yang justru malah tidak akan bisa mendapatkan pengampunan dengan cara yang lainnya.
وعن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ ذُنُوْبًالاَ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَلاَ الصِّيَامُ وَلاَ الْحَجُّ وَلاَ الْعُمْرَةُ قَالُوْا فَمَا يُكَفِّرُهَا يا رسولَ اللهِ قال اَلْهُمُوْمُ في طَلَبِ الْمَعِيْشَةِ
Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu ada beberapa dosa yang tidak akan terhapus dengan sholat, shoum, haji dan umroh. Para shahabat bertanya, dengan apa menghapuskannya ya Rosulallah? Jawab beliau: dengan semangat dan bersungguh-sungguh mencari nafkah. H.R Ath Thabrani dalam kitab Al Ausath.
Tentu ini disampaikan agar muslimin tidak hanya melulu terfokus pada rutinitas ritual semata, tetapi mereka diingatkan bahwa ada aktivitas lain yang juga harus mereka tekuni, jika mereka ingin agar dosa-dosa mereka diampuni. Bahwa mereka pun mesti memiliki semangat yang tinggi untuk mencari nafkah bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Bahkan Rosulullah saw. amat menganjurkan terkumpulnya harta yang baik, halal di tangan orang-orang yang baik. Dan tentu hal tersebut tidak akan terwujud jika mereka tidak produktif:
فقال يا عُمَرُ وَ نَعِمًا بِالْمَالِ الصَّالِحِ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
Berkata Rosul saw. Wahai Umar, sesungguhnya sebaik-baik harta yang baik adalah yang dimiliki oleh orang yang sholeh. HR. Ahmad
Demikian pentingnya usaha mencari nafkah, sehingga Rosulullah menyatakannya sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim, artinya ketika seseorang tidak berusaha untuk menjadi produktif, maka selama itu pula ia menanggung dosa (melalaikan kewajiban yang seharusnya dikerjakan dengan sebaik-baiknya):
وعن أنس بن مالك رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال طَلَبُ الْحَلاَلِ وَاجِبٌ عَلىَ كُلَّ مُسْلِمٍ
Mencari nafkah yang halal itu wajib bagi setiap muslim. HR. Ath Thabrani dalam kitab Al Ausath
Namun demikian, usaha mencari nafkah yang halal itu, diharus ditempuh dengan cara yang halal dan tidak mendzalimi manusia. Dan bila sikap demikian dilaksanakan secara konsisten, Rosulullah menjamin mereka dengan Syurga:
وعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ أكَلَ طَيـِّـبًا وَعَمِلَ في سُـنَّةٍ وَأمِنَ النَّاسَ بَـوَائِـقَهُ دَخَلَ الْجَـنَّةِ
Barang siapa yang mendisiplinkan diri, ia hanya memakan makanan yang (halal) lagi baik saja, dan beramal dalam sunnah (Nabi saw) dan membuat orang lain aman dari keburukan dirinya, maka (pasti) akan masuk syurga. HR. At Tirmidzi (hasan-shohieh) dan HR. Al Hakim (shohihul Isnad)
Rosulullah saw. menekankan satu bentuk integritas moral kepada seluruh muslim, agar seluruh tindakan mereka tetap berada dalam aktivitas yang santun dan beradab. Tidak merugikan manusia lain dalam setiap aktivitasnya, muslimin tidak boleh mencari keuntungan dengan cara-cara yang curang dan merugikan pihak lain. Kehadiran muslimin harus memberi kontribusi pada kemajuan peradaban dunia. Bahkan Rosulullah Saw, menyatakan:
وعن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أرْبَعٌ إذَا كُنَّ فِيْكَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدّ ُنْـيَا حِفْظُ أمَانَـةٍ وَصِدْقُ حَدِيْثٍ وَحُسْنُ خَلِيْـقَةٍ وَعِفَةُ في طُعْمَةٍ
Ada empat hal yang bila semuanya ada pada dirimu, maka (dijamin) kamu tidak akan kehilangan (manfa’at dunia): [1] memelihara amanah [2] jujur dalam perkatakan [3] baik akhlaq [4] dan menjaga diri (memelihara integritas moral) dalam (mencari) sumber-sumber makanan. HR. Ahmad dan Ath Thabrani dengan isnad hasan.
Bahkan Rosulullah menjamin, setiap usaha yang dilaksanakan dengan “fair” yang kemudian hasil usahanya itu digunakan untuk menafkahi seluruh orang yang berada dalam tanggung jawabannya, maka semua itu bernilai “zakat” pensucian bagi dirinya:
وعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال أيـُّمَا رَجُلٍ اِكْـتَسَبَ مَالاً مِنْ حَلاَلٍ فَأطْـعَمَ نَـفْسَهُ أوْ كَسَاهَا فَمَنْ دُوْنَهُ مِنْ خَلْقِ اللهِ كَانَ لَهُ بِـهِ زَكَاةً
Siapapun orangnya yang mencari harta yang halal, yang kemudian dengannya ia belanjakan untuk memenuhi keperluan pangan dan sandangnya, serta untuk memenuhi kepeerluan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, maka semua itu menjadi “pensuci” bagi dirinya. HR. Ibnu Hibban di dalam shahihnya.
Agar segala manfaat dari hasil usaha kita berfungsi sebagai pembersih nurani, maka kehalalan cara memperolehnya harus dijaga, sebab hasil usaha yang didapat dari cara-cara yang kotor, bukan hanya merusak karakter kemanusiaan kita (character assasination) tetapi juga membuat amal ibadah kita menjadi terhambat dari penerimaan Ilahi. Kredibilitas (Ash Shidqu) dan sikap penuh tanggung jawab (responsibilitas) diakui sebagai hal terberat yang harus tetap dipertahankan, dalam keadaan apapun, sebab itu berkait langsung dengan diterima atau tidaknya amal ibadah kita. Sekali lagi bukan urusan syah atau tidaknya amal ibadah, tetapi diterima atau tidaknya. Sebab syah atau tidak diukur dengan terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat ibadah, tetapi diterima atau tidak, itu tidak hanya dilihat dari segi ibadahnya saja, tetapi dari dampak ibadah tersebut:
وروي عن علي رضي الله عنه قال كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فَطَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٍ مِنْ أهْلِ العَالِـيَةِ فقال يا رسول الله أخْـبَرَنِي بِأشَدِّ شيءٍ في هَذَا الدِّينِ وألِـيْـنِهِ فَقَالَ ألِـيْـنُـهُ شهادةُ أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وأشَدُّهُ يا أخا العَالية الأمَانَـةُ إنَّـهُ لاَ دِينَ لِمَنْ لاَ أمَانَةَ لَهُ وَلاَ صَلاَةَ لَهُ وَلاَ زَكاَةَ لَهُ يا أخا العالية إنَّـهُ مَنْ أصَابَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ فَلَـبِسَ مِنْهُ جِلْـبَابًا يَعْنِي قَمِيْصًا لَمْ تُـقْبَلْ صَلاَتُهُ حَـتَّى يُنْحَى ذَلِكَ الْجِلْباَبَ عَنْـهُ إنَّ اللهَ عز وجل أكْرَمُ وأجَلُّ يا أخا العالية مِنْ أنْ يَقْـبَلَ عَمَلَ رَجُلٍ أوْ صَلاَتَهُ وَعَلَيْهِ جِلْبَابٌ مِنْ حَرَامً
Dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata kami tengah duduk-duduk bersama Rosulullah saw. Tiba-tiba muncul seseorang dari mereka yang berkedudukan tinggi (status sosialnya), kemudian dia berkata: Ya Rosulullah, kabarkan kepadaku apa yang paling sulit dilaksanakan dalam agama ini dan apa yang paling ringan daripadanya? Maka berkata Rosulullah saw. Yang paling ringan untuk dilaksanakan adalah “Syahadat Lailaha Illallah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluhu” adapun yang paling berat, wahai saudara yang berkedudukan tinggi, adalah “Amanah”. Sesungguhnya tidak (bernilai) agama (nya) orang yang tidak amanah, demikian juga tidak bernilai sholat dan zakatnya. Wahai saudara yang berkedudukan tinggi, sesungguhnya siapa yang mendapatkan harta dari hal yang haram, kemudian dia membeli pakaian dengannya maka tidak akan diterima sholatnya hingga ia melepaskan pakaiannya yang (berasal dari) yang haram itu. Sesungguhnya Allah terlalu mulia dan tinggi (tidak mungkin) akan menerima amal seseorang, demikian juga sholatnya sedang padanya ada pakaian yang berasal dari yang haram. H.R Al Bazaar
Ini menunjukkan bahwa seorang muslim bukan saja harus professional dalam mencari nafkah, tetapi juga harus menghindari kecurangan. Bahkan setiap energi yang didapatnya dari makanan yang haram, akan menghambat diterimanya sholat dan jika dia tidak bertobat maka akhir kehidupannya akan sangat mengerikan:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِـيَدِهِ إنَّ الْعَبْدَلَـيَقْـذِفُ اللُـقْمَةَ الْحَرَامِ في جَوْفِـهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلٌ أربَعِيْنَ يَوْمًا و أيـُّمَا عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أوْلَى بِهِ
Demi Jiwa Muhammad yang ada dalam genggamanNya, barangsiapa yang memasukkan satu suapan dari yang haram ke dalam mulutnya dari barang yang haram, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama empat puluh hari, dan bagian manapun dari seorang hamba yang tumbuh dagingnya dari barang yang haram, maka api nerakalah yang paling berhak membakarnya. H.R Ath Thabrani dalam kitab Ashoghir
اَلْحَـمْـدُ لِـلَّـهِ رَبِّ الْعَـلَـمِـيْـنَ
[1] Harianto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Ketaping Surabaya, tt, halaman 467.