10.27.2008

Makna Lelaki Shalih

Oleh: Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman

Rajulun Shalih atau Lelaki Shalih, secara garis besar dapatlah digambarkan, sebagai bersih jiwanya, lurus aqidahnya dan benar amalnya, secara fisik, berarti darah, daging dan tulang belulang bersih daripada benda – benda haram. Sedang bathinnya bersih dari kotoran kejiwaan (seperti syirik, zalim, munafiq dan fasiq, serta segala maksiat kepada Allah dan Rasulnya), karena senantiasa ditetesi nuurul iman (cahaya keimanan) atau diobati oleh syifaa-ush shuduur (kalam Ilahi). Pancaran keshalihan inilah yang melazimkan bagi seorang muslim, apabila ia hendak menghadap Allah melalui shalat, bersujud dan bersimpuh di hadapan Allah Malikurrahman, maka ia pun segera mengambil air wudhu’ dengan tenang dan khusu’ disertai cinta Allah, begitu pula ketika hendak membaca kitab suci al-Qur’an.

Demikianlah diantara sifat lelaki shalih, hatinya senantiasa terkait dan berhubungan erat dengan Allah al Khaliq, sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudri ra.

Kitab Allah itu adalah tali yang dibentangkan atau diulurkan dari langit ke bumi


Bahwasanya pertautan jiwa dan keterikatan bathin dengan Allah Swt inilah yang sebenarnya sumber ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup. Jiwa yang selalu bertaut dengan Allah, yang senantiasa beraudiensi atau tidak hentin – hentinya berhubungan dengan Allah, maka jiwa semacam itulah yang akan memperoleh keamanan dan ketentraman meskipun terkadang nikmat keduniaan sangat terbatas.

Selanjutnya marilah kita kembali kepada pokok pembahasan mengenai makna lelaki shalih. Sebenarnya ia tidak berbeda jauh dengan makna wanita shalihah, yakni lelaki muslim yang mu’min, bersih lahir bathinnya, bersih darah daging dan tulang belulangnya dari benda yang haram dan selalu berusaha menjauhkan dirinya dari perkara – perkara haram dan segala yang akan menyeret dirinya ke lembah neraka yang dalam. Demikian pula ia adalah orang yang selalu taat kepada Allah dan Rasulullah Saw. dimana pun ia berada, dan kapanpun ia diajak kembali kepadanya.

Adapun gambaran seorang shalih, sebagaimana yang sering disalah pahami oleh kebanyakan orang, yaitu seorang muslim yang berjenggot tebal, berserban panjang, bergamis putih, kemana – mana menggenggam tasbih ditangan, bersiwak, berwangi – wangian memakai celak mata. Apabila berdoa dengan doa yang panjang, tidak meninggalkan shalat malam bukanlah ukuran spesifik dari gambaran dan makna sebenarnya. Sesungguhnya keshalihan itu tidak dapat diukur hanya dengan bekas dan ciri – cirri lahiriyah semata, masalahnya al-Wala’ dan al-Bara’, yakni kepada siapa ia mesti memberikan dan menyerahkan kepemimpinan dan terhadap pihak mana menolak dan melawan.

Perkara yang paling mendasar didalam kehidupan manusia adalah aqidah tauhid. Apabila tauhid tidak betul, maka seluruh amal yang bertopang diatasnya tidak bernilai dan sia – sia. Dan tauhid tidak akan tegak, dan tidak akan menjadi kenyataan di bumi ini kecuali jelas kepada siapa kita memberikan perwalian dan terhadap pihak mana kita mesti menolak kepemimpinan.
Sehubungan dengan perkara diatas, suatu hari khalifah Umar bin Khaththab ra. Diberitahu tentang seorang yang amal lahiriyahnya sangat mengagumkan. Ia berkata, “Alangkah shalihnya orang itu, wudlunya sempurna dan shalatnya pun demikian khusyu’nya.” Mendengar ucapan itu Umar bertanya: “Pernahkah engkau tinggal bersama dia?” Orang itu menjawab, “Tidak…!” Umar bertanya lagi: “Apakah engkau pernah mengujinya dengan maal atau harta?” Orang itu berkata: “Belum pernah!”. Lalu beliau berkata: “Bagaiamana engkau dapat mengatakan, bahwa dia adalah orang shalih padahala engkau tidak hidup bersamanya dan tidak pula bermuamalah dengannya?”

Aduhai kiranya amal itu diukur dengan bentuk lahiriahnya, sungguh amat banyak orang yang dapat disebut orang shalih. Akan tetapi Umar ra tidak menerima berita yang hanya diketahui dari gambaran lahiriah semata, karena terlalu banyak perkara lahiriah yang tampak baik, namun hakekatnya palsu dan sesat. Oleh karena itu memahami makna laki – laki yang shalih tidak cukup hanya dengan mengetahui tanda – tanda atau ciri – ciri lahiriah semata. Sebab ia lebih jauh mendalam daripada itu. Perkara – perkara yang bersangkutan dengan keyakinan, tujuan dan pandangan hidup, cita – cita dan jalan hidup, merupakan hal – hal yang patut dipertimbangkan untuk memastikan , atau menunjukan apakah seorang itu tergolong di dalam kelompok lelaki shalih atau lelaki salah.

Di dalam konteks al-Qur’an dan hadits Nabi Salallahu alaihi wassalam yang dapat difahami, lelaki shalih itu digambarkan sebagai orang yang:
1. Ikhlas dalam beramal
2. Ta’at kepada Allah dan Rasulnya
3. Program Hidupnya: Jihad fie Sabilillah
4. Sangat rindu syahid fie Sabilillah
5. Sabar menghadapi ujian Allah
6. Negeri Akhirat tujuan utamanya
7. sangat takut kepada Allah dan ancaman-Nya
8. Bertaubat dan mohon ampun atas dosa – dosanya
9. Shalat malam menjadi kebiasaanya
10. Zuhud dunia dan mengutamakan akhirat
11. Tawakal kepada Allah
12. Senantiasa gemar berinfaq
13. Kasih sayang sesama mukmin, dan keras terhadap orang kafir
14. Senantiasa berda’wah dan amar ma’ruf nahi mungkar
15. Kuat megang amanah, janji dan rahasia
16. Bersikap santun menghadapi kebodohan manusia
17. Cinta kasih dan penuh pengertian terhadap keluarga.

Selain sifat – sifat diatas, akan ditemui pula bahwasanya orang shalih itu adalah yang paling bayak mendapat ujian dan cobaan dari Allah Swt setelah para Nabi dan orang – orang mulia. Tetapi mereka tetap teguh didalam keimanan. Tidak lemah keyakinannya dengan banyaknya penderitaan dan kemiskinan, demikian pula tidak mudah menyerah dari keganasan dan kesewenangan musuh.
Adapun ayat dan hadits yang berkenaan dengan hal tersebut cukup banyak, tetapi memadilah kiranya apa yang akan dikemukakan berikut ini. Firman Allah:


"Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar." (QS. Ali ‘Imron. 3: 146)


Nabi Muhammad Saw bersabda :
Orang yang paling banyak ujian ialah para Nabi. Kemudian yang semisalnya, kemudian yang semisal berikutnya. Seseorang itu diuji berdasarkan Diennya. Jika ia kuat berpegang pada Diennya, maka ujiannya lebih hebat, jika Diennya lemah, maka ia diuji sesuai dengan kadar Diennya. Maka ujian akan terus menimpa seorang hamba sehingga ia bebas dari segala dosa dan kesalahan..” (HR. Bukhari 5/2139; Ahmad – No. 1412, 1473, 1521; Tirmidzi – No. 2322)

Sabda Nabi Muhammad Saw lainnya:
Orang – orang paling berat ujiannya adalah para Nabi dan para shalihin (Orang – orang shalih). Sungguh diantara mereka ada yang mengalami kemiskinan sehingga ia tidak memiliki apa – apa selain pakaian yang dipakainya. Dan ada yang diuji dengan penyakit kulit (bisul) sehingga membawa maut. Dan diantara mereka ada yang memang lebih sukar untuk ditimpa ujian daripada diberi kurnia (kekayaan).” (HR. Ibnu Majah & Ibnu Abi ad Dunya 4/141 – No. 5158)

"Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur (kitab kitab yang kami turunkan) sudah tercantum (pada Lauh Mahfuzh) bahwasanya, bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hambaKu yang shallih." (QS. Al Anbiya’. 21:105)
Demikianlah, hamba – hamba Allah yang shalih, baik lelaki maupun perempuan, telah diiktiraf (diumumkan) akan menjadi ahhli waris terhadap bumi dengan segala perlengkapannya. Begitulah titah Ilahi yang tiada keraguan padanya. Namun kenapakah pada hari ini, di zaman yang dikatakan sebagai kemajuan, justru orang – oragn kafir, dzalim, munafiq dan fasiq yang memegang teraju petadbiran di muka bumi. Itu sudah jelas, artinya mereka telah merampas hak waris orang – orang shalih.

Kemana perginya orang orang shalih itu, sehingga membiarkan harta warisannya dirampas orang? Mungkinkah mereka sedang bermesraan dengan dunia, sehingga mereka lalai dan keshalihan mereka berangsur – angsur jatuh tergelincir, jatuh tercicir dan diganti dengan gelaran orang orang ghafil (lalai).

Orang orang yang asyik berzikir, menghitung biji tasbih yang beribu ribu setiap hari, sehingga lupa dengan tugas tugas kehidupannya secara menyeluruh, pendidikkan dan nafkah dengan cara Islam, terhadap anak istri terabaikan, dan ia sendiri memandang dunia ini sebagai tempat penyiksaan terhadap muslim, sehingga ia ingin segera menuju ke akhirat, ia tidak menyusun program untuk menata dunia ini dengan cara islam, sebab ia merasa sudah menjadi calon “WALI ALLAH”. Maka ia juga termasuk orang – orang yang lalai, bukan orang orang yang shalih, seolah olah bila seorang telah mencapai taraf wali, ia sudah tidak perlu bekerja lagi, tinggal menunggu di Mihra Masjid ataupun dibilik tidur, makanan dan segala keperluannya akan datang dengan sendirinya, seperti yagn dialami oleh Maryam, Ibunda Nabi Isa As. Orang orang seperti ini banyak kita temui pada hari ini, tasbih saja yang selalu bergertak gerak di tangan, mulut komat kamit, rokokpun digerak gerakkan oleh tangan yang sama, sehingga jari tangan menjadi berwarna aneh, hitam kekuning kuningan karena setiap saat menghisap peluru berpandu jarak dekat, yang selalu mengeluarkan asap beracun untuk memusnahkan diri sendiri dan orang disekitarnya.
Bagaimana pula dengan orang yang memiliki serban besar dan jubah panjang, ia suka menjadi hakim , qadhi dan mendapat gaji dari kerajaan yang tidak menjalankan pemerintahan bersumber al-Qur’an dan as Sunnah, maknanya ia masih suka dengan kerajaan yang menentang undang undang Allah. Mungkinkah ini ciri – ciri lelaki shalih? Demi Allah, dalam terminology Islam, tidak ada orang shalih yang seperti ini.
Mengakhiri tulisan ini, kita berharap semoga kita termasuk orang – orang yang digolongkan Allah ke dalam golongan para syuhada’ atau shalihin yang telah dijamin oleh Allah. Sebagai orang – orang yang dijanjikan mendapat kenikmatan terbesar bersama para Nabi dan para shiddiqien, karena kesabaran mereka dalam menghadapi segala macam derita dan mala petaka.
Firman Allah:

"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. "(QS. an Nisaa’ 4: 69)



Wallahu a’lam bi ash-shawab.

-----------------------------------


Catatan Kecil untuk istriku tercinta (Bunda dari Syauqi Alyaa Muttaqin):


Kesabaranmu mengasuh dan memelihara anak-anak
Keikhlasanmu mengajar dan mendidik mereka.
Dan kesetiaanmu mendampingi suami di dalam jihad
Semuanya bernilai sebagai amal shalih dan ibadah
Yang akan memasukanmu ke syurga Indah
Hidup kekal di dalamnya. Isnya Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar